Sabtu, 14 November 2015

Katekese Singkat : Pertanyaan Umum Mengenai Iman Katolik

Refleksi ini bukan terutama supaya kita mampu menjawab pertanyaan dari saudara-i kita non Katolik namun untuk menambah pengetahuan, dan penghayatan iman kita.

Dalam 1 Tmotius 2:5 dikatakan, “Hanya Yesus yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia. Mengapa Maria dan santo-santa diamini oleh Katolik sebagai pengantara juga?

Jawaban: Benar Yesus Kristus adalah pengantara antara kita dengan Allah. Doa-doa katolik “selalu” disampaikan dengan perantaraan Sang Putera. Tetapi itu tidak berarti bahwa kita tidak boleh mendoakan satu-sama lain, bahkan kita dinajurkan saling mendoakan. Mateus 5:44-45, “Aku berkata kepadamu, cintalah musuh-musuhmu dan doakanlah orang-orang yang menganiaya kamu, supaya kalian menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga,, dst). Hal yang kurang lebih sama dikatakan dalam Roma 15:30, “Demi Tuhan kita Yesus Kristus, dan demi kasih yang diberikan oleh Roh Allah, saya meminta dengan sangat kepadamu, semoga kalian turut berdoa sungguh-sungguh
bersama saya kepada Allah untuk saya.”

Santa Perawan Maria dan santo-santa yang telah duduk dan berada di Surga yang dekat dengan Allah dan Yesus, Puteranya, juga “bisa” menjadi pengantara kita kepada Allah, lewat Yesus. Intinya, Yesus tetap menjadi pengantara tetapi kita tidak salah menyampaikan doa kita kepada Allah dan PENGANTARA ITU lewat orang, santo-santa yang dekat dengan mereka. Analogi logisnya, kita kadang perlu meminta dan memohon kepada big bos dengan perantaraan staffnya yang kita kenal kenal dan kenal juga big bos itu.

Apa itu santa-santa dan bagaimana menjadi santo?

Jawaban: Seseorang menjadi santo-santa lewat kanonisasi. Kanonisasi ialah pernyataan oleh Paus bagi seseorang yang telah wafat sebagai martir, atau orang katolik yang beriman sungguh, dalam, setia dan selama hidupnya memberi banyak nilai kebajikan yang “mencahai” banyak orang. Pernyataan ini biasanya setelah melewati proses yang panjang (investigasi), teliti, dan seksama: sejarah hidupnya, tulisannya, kejadian-kejadian iman (ajaib) yang terjadi sebelum dan setelah wafatnya.

Dalam Mazmur 6:5 dikatakan bahwa kematian tidaklah lebih dari suatu kenangan saja. Mengapa katolik percaya bahwa santo-santa dapat mendengar doa-doa kita and menjadi perantara kita?

Jawaban: Mazmur ditulis ratusan tahun sebelum tradisi orang Yahudi dan ide kekristenan tentang kebangkitan dari orang mati. Penulis mazmur, seperti juga pengarang Perjanjian Lama, tidak bisa meramalkan (melihat lebih jauh) perkembangan tradisi yang menjadi bukti sahih kemudian dalam Perjanjian Baru. Sekali lagi kita bisa berdoa kepada Allah dengan mereka yang sudah kudus.

Katolik mengatakan bahwa para uskup adalah sebagai pengganti para rasul. Adakah dasar biblis untuk itu?

Jawaban: Ya, ada dasar biblis yag sesuai dengan itu yakni Lukas 6:12-16, tentang Yesus memilih 12 rasul. Mateus 28 :18-20 tentang Yesus mengutus para murid ke seluruh dunia, dst. Intinya, pewartaan kabar gembira harus tetap berlangsung sepanjang masa. Estapet yang diberikan Yesus kepada para murid juga berjalan sampai sekarang dan selamanya. 1 Korintus 12:28-31, tekanannya komunitas itu perlu mempunya pemimpin dst.

Katolik percaya bahwa pengampunan dosa adalah sesuatu yang mendasar untuk keselamatan. Bukankah menjadi orang Kristen, kita sudah menerima pengampunan (otomatis)?

Jawaban: Benar, bahwa menjadi Kristen kita juga telah mendapat pengampunan, tetapi bukankah sebagai manusia dan sebagai orang Kristen kita juga melakukan kesalahan dan berdosa terus menerus? Karena itu kita tetap harus berdoa dan memohonan pengampunan Allah.
 
Katolik dikenal sangat akrab dengan Ekaristi dan kaitannya dengan keselamatan. Adakah dasar biblis untuk itu ?

Jawaban: Dasar biblisnya ialah Yoh 6:53, “Percayalah kalau kalian tidak makan daging anak manusia dan minum darahNya, kalian tidak akan benar-benar hidup. Orang yang makan dagingKu dan minum darahKu akan mempunyai hidup kekal (sejati), sebab dagingku sungguh-sungguh makanan dan darahKu sunggu-sungguh minuman. Orang yang makan dagingKu dan Minum darahKu tetap bersatu dengan Aku, dan aku Dengan dia.
 
Katolik meyakini bahwa Maria adalah co-redemptor atau co-redeemer. Bisakah diberikan informasi tentang itu?

Jawaban: Benar, bahwa Maria adalah co-redeemer. Ketika ia menjawab, aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataan-Mu, saat itu juga Maria berpartisipasi dalam kerangka keselamatan manusia. Ia menjadi “jalan” datangnya penyelamat ke dunia. Tetapi perlu ditegaskan bahwa ia menjadi co-redeemer bukan dari kuasanya sendiri tetapi dari Allah. Allah yang memilihnya. Ingat, peristiwa perkawinan di kana Yohanes 2:1-11, di mana Maria yang datang kepada Yesus dan meminta-Nya mengobah air menjadi anggur. Lewat partisipasi maria, tuan rumah selamat karena pesta tetap berjalan dengan baik.

Putra Putri Altar

Santo Tarcisius Pelindung Putra Putri Altar. Sumber; id.wikipedia.org
Putra altar atau misdinar (yang berarti 'asisten misa' dari Bahasa Belanda misdienaar) adalah mereka yang membantu Imam saat mengadakan Perayaan Ekaristi.

Pada awal mulanya seorang Putra Altar adalah sebuah tingkatan pastoran sebelum menjadi imam. Umumnya, misdinar itu laki-laki.Akan tetapi Putra Altar akan disebut "Misdinar" bila keputusan gereja untuk memperbolehkan perempuan sebagai Putera Altar. Bila tidak boleh maka dalam gereja tersebut akan dipanggil "Putri Altar" yang bertugas dalam bacaan-bacaan.

Tugas misdinar antara lain membantu Imam, mengantar persembahan, menuangkan air putih dan anggur serta membawa air cuci tangan Imam, dan menjadi panutan umat. Per periodenya (setiap gereja berbeda-beda), akan masuk para Misdinar baru, tentu saja melalui seleksi dan latihan/training dari senior angkatan sebelumnya (beberapa gereja memiliki pengurus misdinar yang membimbing para calon misdinar). Misdinar juga bertujuan selain membantu dalam perayaan ekaristi juga untuk memperkuat iman pribadi dalam kegiatan-kegiatan pengembangan pribadi seperti LDK (Latihan Dasar Kepemimpinan), Retret, Out Bond, dan tidak Lupa Wisata Rohani. Tentu saja organisasi Misdinar tidak kalah maju dan pentingnya bagi anak anda dalam pengembangan iman Katolik.

Prahsyarat untuk menjadi misdinar:
  • Beragama Katolik
  • Sudah menerima Komuni Pertama (di beberapa paroki min. kelas 1 SMP)
  • Maximum usia 21 tahun (di beberapa paroki max. kelas 12 SMA)
  • Tidak ada unsur paksaan
  • Rajin dan setia dalam bertugas
  • Mengetahui prosedur Perayaan Ekaristi
  • Mengetahui peralatan Ekaristi (antara lain lilin, sibori, korporal, kaliks/piala, turibulum/pendupaan, vandel,ampul dan lain-lain) yang akan diajarkan saat pelatihan Misdinar baru.
  • Usia lanjut dapat juga bertugas sebagai pelatih atau pembimbing misdinar
  • Belum menikah
Untuk buku paduan tugas misdinar, anda bisa mengunduhnya dengan mengeklik link DOWNLOAD ini
"Ketika sebuah kelompok jahat fanatik melempari diri Tarsisius yang membawa Ekaristi, ingin Sakramen itu tak dicemarkan, anak laki-laki itu lebih suka memberikan nyawanya daripada memberikan Tubuh Kristus kepada para anjing liar."

[Damasi Epigrammata, Maximilian Ihm, 1895, n. 14]

Warna Liturgi


Warna Litugi di Gereja Katolik
Dalam Perayaan Ekaristi warna sangat dimanfaatkan sebagai unsur virtual yang sangat penting dalam menciptakan suasana religius, sekaligus memberi sentuhan atmosfir sedemikian rupa sehingga sungguh-sungguh dapat mengantar umat kepada pertemuan dengan yang Ilahi.

Gereja Katolik mempunyai pemahaman norma tersendiri dan baku akan warna. Setiap warna merefleksikan nilai dan makna rohani tertentu. Begitu juga kapan waktu pemakaian warna tersebut dipakai disesuaikan dengan masa-masa dan perayaan-perayaan atau pesta tertentu menurut penaggalan kalender liturgi.

Warna yang dimaksud dalam liturgi adalah warna Stola (selempang/selendang) dan Kasula (Mantol Lebar/Pakaian Paling Luar Imam) yang dipakai oleh Imam, begitu juga dengan warna yang dikenakan Prodiakon, Lektor/Lektris dan Putra/Putri Altar disesuaikan dengan warna yang dipakai imam sesuai kalender liturgi.

Penggunaan warna liturgi berkembang bersama-sama dengan pakaian luturgi dalam sejarah liturgi. Perkembangan pemilihan warna liturgi berlatar belakang pada teknik pembuatan warna pada zaman kuno. Pada zaman kuno bahan pewarna diambil dari getah utama keong dengan lama pemasakan, maka orang mengatur warna yang diinginkan. Semakin lama pemasakan, semakin mahal harganya. Warna merah tua dan gelap merupakan warna yang paling mahal, maka pesta liturgi yang disimbolkan juga semakin meriah.

Pemilihan warna liturgi amat dipengaruhi oleh penafsiran makna atas simbol warna sebagaimana dipahami suatu budaya dan masyarakat tertentu. De facto, penafsiran terhadap simbol warna bisa bermacam-macam dan berbeda antarasuatu bangsa-budaya yang satu dengan yang lain. Meskipun begitu, kita boleh meringkas makna simbolis warna-warna liturgi secara umum dan penggunaannya.

Dalam liturgi, warna melambangkan:
1. Sifat dasar misteri iman yang kita rayakan,
2. Menegaskan perjalanan hidup Kristiani sepanjang tahun liturgi


HIJAU (G)

 
Pada umumnya, warna hijau dipandang sebagai warna yang tenang, menyegarkan, melegakan, dan manusiawi. Warna hijau juga dikaitkan dengan musim semi, di mana suasana alam didominasi warna hijau yang memberi suasana pengharapan. Warna hijau pada khususnya dipandang sebagai warna kontemplatif dan tenang.

Karena warna hijau melambangkan keheningan, kontemplatif, ketenangan, kesegaran, dan harapan, warna ini dipilih untuk masa biasa dalam liturgi sepanjang tahun. Dalam masa biasa itu, orang Kristiani menghayati hidup rutinnya dengan penuh ketenangan, kontemplatif terhadap karya dan sabda Allah melalui hidup sehari-hari, sambil menjalani hidup dengan penuh harapan akan kasih Allah.



PUTIH DAN KUNING (YW)
 


Warna putih dikaitkan dengan makna kehidupan baru, sebagaimana dalam liturgi baptisan si baptisan baru biasa mengenakan pakaian putih. Warna putih umumnya dipandang sebagai simbol kemurnian, ketidaksalahan, terang yang tak terpadamkan dan kebenaran mutlak. Warna putih juga melambangkan kemurnian mutlak. Warna putih juga melambangkan kemurniaan sempurna, kejayaan yang penuh kemenangan, dan kemuliaan abadi. Dalam arti ini pula mengapa seorang paus mengenkan jubah, single dan solideo putih.
Warna kuning umumnya dilihat sebagai warna mencolok sebagai bentuk lebih kuat dari makna kemuliaan dan keabadian, sebagaimana dipancarkan oleh warna emas. Dalam liturgi, warna putih dan kuning digunakan menurut arti simbolisasi yang sama, yakni makana kejayaan abadi, kemuliaan kekal, kemurnian, dan kebenaran. Itulah sebabnya warna putih dan kuning bisa digunakan bersama-sama atau salah satu.

Warna putih atau kuning dipakai untuk masa Paskah dan Natal, hari-hari raya, pesta dan peringatan Tuhan Yesus, kecuali peringatan sengsara-Nya. Begitu pula warna putih dan kuning digunakan pada hari raya, pesta dan peringatan Santa Perawan Maria, para malaikat, para kudus bukan martir, pada hari raya semua orang kudus (1 November), Santo Yohanes Pembaptis (24 Juni), pada pesta Santo Yohanes pengarang Injil (27 Desember), Takhta Santo Petrus Rasul (22 Februari), dan Bertobatnya Paulus Rasul (25 Januari)



MERAH (R)
 


Warna merah merupakan warna api dan darah. Maka, warna merah ini amat dihubungkan dengan penumpahan darah para martir sebagai saksi-saksi iman, sebagaimana Tuhan Yesus Kristus sendiri menumpahkan darah-Nya bagi kehidupan dunia. Dalam tradisi Romawi kuno, warna merah merupakan simbol kuasa tertinggi, sehingga warna itu digunakan oleh bangsawan tinggi, terutama kaisar. Apabila para kardinal memakai warna merah untuk jubah, singel, dan solideonya, maka itu dimaksudkan agar para kardinal menyatakan kesiapsediaannya untuk mengikuti teladan para martir yang mati demi iman.

Dalam liturgi warna mereh dipakai untuk hari Minggu Palma, Jumat Agung, Minggu Pentakosta, dalam perayaan perayaan sengsara Kristus, pada pesta para rasul dan pengarang Injil, dan dalam perayaan-perayaan para martir.
 


UNGU (P)
 


Warna ungu merupakan simbol bagi kebijaksanaan, keseimbangan, sikap berhati-hati, dan mawas diri. Itulah sebabnya warna ungu dipilih untuk masa Adven dan Prapaskah sebab pada masa itu semua orang Kristiani diundang untuk bertobat, mawas diri, dan mempersiapkan diri bagi perayaan agung Natal ataupun Paskah. Warna itu juga digunakan untuk keperluan ibadat tobat.

Pada umumnya, liturgi arwah menggunakan warna ungu sebagai ganti warna hitam. Dalam liturgi arwah itu, warna ungu itu melambangkan penyerahan diri, pertobatan, dan permohonan belaskasihan dan kerahiman Tuhan atas diri orang yang meninggal dunia dan kita semua sebagai umat beriman. 


HITAM (B)

Warna hitam merupakan lawan warna putih dan melambangkan ketiadaan, kegelapan, pengurbanan, malam, kematian, dan kerajaan orang mati. Maka, warna hitam dapat melambangkan kesedihan dan kedukaan hati secara paling itntensif. Warna hitam bisa digunakan dalam liturgi arwah, meskipun penggunaan warna ini sekarang bersifat fakulatif

Rabu, 11 November 2015

About Me

Perkenalkan nama saya Sirilus Maximilian, biasa dipanggil dengan sebutan Sirilus. Saya sudah memulai menjadi blogger sejak kelas 7 SMP, namun fokus menulis mulai dai kelas 9 SMP saat ini. Saya bersekolah di SMP Xaverius 4 Bandar Lampung yang berdomisili di Jalan Griya Fantasi, no 62 Way Halim, Banda Lampung. Saya adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Ayah saya benama Yan Matius Malorng,Ibu saya benama Yohana Sri Retno Wahyuningsih serta Adik saya bernama Maksima Regina Mariane Maloring. Walaupun saya adalah anak laki - laki sematawayang, namun saya memiliki cita - cita menjadi seorang pastor. Baik disekolah maupun digereja saya banyak mengikuti kegiatan sosial serta kepemimpinan. Di sekolah saya berperan aktif di kegiatan OSIS, sedangkan di gereja, saya berperan aktif sebagai wakil ketua misdinar. Dengan adanya blog "Nafas Iman Katolik." saya ingin lebih berperan aktif dalam misi evangelisasi di bidang media sosial, dengan tujuan agar anak muda serta segala golongan dapat mengetahui seberapa penting artinya tumbuh serta beriman. Diahkir kata selamat membaca artikel - artikel di blog saya, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua, Tuhan Yesus memberkati!

Menurut saya, tiada batasan waktu dalam berbuat baik terhadap sesama. Jadi, jadikanlah hari ini menjadi hari terbaik dan jangan berhenti untuk berbuat baik .

Sirilus Maximilian

Sabtu, 07 November 2015

Memahami Ilham Doa Bapa Kami


Sumber ; google.co.id
dan janganlah membawa kami dalam pencobaan tetapi lepaskanlah kapi dari pada yang jahat. [Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama - lamanya] (Mat 6;13) 
Doa ini dimulai dengan seruan “Bapa kami yang ada di surga“. Para murid diajar mengarahkan diri dan berseru kepada Bapa mereka satu-satunya (Mat 23:9). Dengan menyebut Allah sebagai Bapa, Abba, Yesus mau menunjukkan adanya hubungan yang amat dekat, akrab, dan khas antara diri-Nya dan Allah. Sapaan seperti ini biasanya digunakan oleh seorang anak yang menaruh kepercayaan penuh kepada bapaknya. Hubungan yang khas itu disebabkan oleh Bapa yang telah mengaruniakan kepada Yesus pengertian sempurna akan diri-Nya (bdk. Mat 11:27). Pada umumnya, tidak ada orang yang berani menyapa Allah dengan cara itu. Ini masih dapat kita rasakan dalam pembukaan doa Bapa Kami dalam perayaan Ekaristi yang didahului dengan kata-kata sebagai berikut: 

Atas petunjuk Penyelamat kita … maka beranilah kita berkata“. Dengan mengajarkan doa ini kepada para murid, Yesus mengundang mereka masuk ke dalam hubungan dengan Allah yang sama, bebas dari rasa takut. Dengan menyapa Allah sebagai Bapa, para murid menyatakan keyakinan dan harapan mereka bahwa Bapa selalu memberikan perhatian penuh kepada anak-anak-Nya. Bahkan, boleh dikatakan bahwa Allah Bapa hidup bagi anak-anak-Nya. Ia mencintai mereka lebih dahulu.

Keyakinan ini ditegaskan lagi dalam keterangan “yang ada di surga“. Keterangan ini tidak mau menunjukkan tempat tinggal Allah, merupakan ungkapan dalam bahasa Semit yang dipakai untuk menegaskan bahwa Allah menguasai seluruh jagat raya (= di surga) dan sekaligus dekat dengan manusia, mengasihinya dengan cinta-Nya sebagai Bapa (Bapa kami). Dalam Injil Matius sering kali kita menemukan ungkapan “Bapa-Ku yang di surga” (mis. 7:21;10:32.33; 12:50) atau “Bapamu yang di surga” (mis. 5:16.45; 7:11; 18:14).

Perlu juga diperhatikan bahwa Allah disebut Bapa kami, bukan Bapaku. Allah bukan hanya Bapa sekelompok orang saja. Bahkan dikatakan bahwa Ia “menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (Mat 5:45). Dengan demikian, Allah Bapa adalah satu-satunya dasar: yang dapat menjadi landasan persaudaraan yang sejati.

Sesudah seruan, doa dilanjutkan dengan doa-doa permohonan bagian pertama yang terdiri dari tiga permohonan. Yang pertama, “dimuliakanlah nama-Mu“. Secara harfiah bagian ini sebenarnya harus diterjemahkan “dikuduskanlah nama-Mu“. Dalam bahasa Kitab Suci, nama Allah sama dengan diri Allah sendiri, sejauh dinyatakan kepada manusia. Allah adalah Yang Mahakudus. Ia lain dan berada di atas segala sesuatu. Oleh karena itu, bagian doa ini tidak dapat diartikan bahwa manusia dengan cara apa pun akan atau dapat menambahkan sesuatu pada kekudusan Allah. Dengan berdoa demikian, orang beriman menyatakan imannya dan memohon agar Allah menyatakan kekudusan-Nya dan agar manusia mampu mengakui, memuliakan, dan menyediakan tempat tertinggi bagi-Nya dalam segala sesuatu. Keyakinan seperti ini tampak misalnya dalam Mzm 9:11, “Orang yang mengenal nama-Mu, percaya kepada-Mu” (bdk. Mzm 20:8), Itulah yang juga didoakan oleh Yesus, “Bapa muliakanlah nama-Mu” (Yoh 12:28).

Menurut Kitab Suci, sekurang-kurangnya ada dua cara menguduskan nama Allah. Para ahli Taurat dalam nasihat-nasihat mereka biasanya mengajar orang beriman supaya menguduskan Allah dengan menaati hukum-hukum-Nya. Dengan cara ini mereka mengakui bahwa Allah benar-benar berkuasa atas seluruh hidup mereka (Im 22:31-32.; Ul 32:51; Yes 8:13; 29:13). Sementara itu, para nabi dalam nubuat-nubuat mereka mengenai keselamatan yang akan datang – menyatakan bahwa Allah akan menguduskan diri-Nya dengan tampil sebagai Hakim yang adil dan sebagai Penyelamat di hadapan segala bangsa (Yeh 20:41; 28:22-25; 36:23; Yes 5:16).

Doa “dimuliakanlah nama-Mu” disusul dengan “datanglah Kerajaan-Mu“. Datangnya Kerajaan Allah, yang adalah kerajaan “kebenaran, damai sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus” (Rm 14:17) tidak dapat dijamin oleh siapa pun kecuali oleh Allah sendiri. Campur tangan dan tindakan Allah yang menyelamatkan dalam rangka datangnya Kerajaan itulah yang dimohonkan dengan doa “dimuliakanlah nama-Mu”. Hanya Allah sendiri yang dapat memuliakan atau menguduskan nama-Nya, dalam kekuasaan dan keagungan-Nya, dalam keadilan dan rahmat-Nya. Pernyataan kemuliaan Allah dan kekudusan-Nya akhirnya akan dialami oleh semua orang. Dengan berdoa “datanglah kerajaan-Mu”, orang beriman mengungkapkan kerinduan hatinya agar Kerajaan yang sudah hadir dalam diri Yesus itu dinyatakan, dikenal, dan diterima oleh semua orang. Tidak hanya itu, tetapi juga agar Kerajaan Allah menjelma dalam wujud yang dapat dilihat dan dialami dalam kehidupan di dunia ini, Misalnya, wujud Kerajaan Allah akan semakin tampak juga dalam tata kehidupan bersama yang semakin bersaudara dan adil. Kelak pada akhir zaman, “Kerajaan Allah ini akan datang dengan kuasa” (Mrk 9:1).

Bagian pertama doa Bapa Kami diakhiri dengan permohonan “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga”. Dalam doa Yesus di taman Getsemani, setelah melalui pergumulan batin yang amat hebat, Ia akhirnya berkata, ” … bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk 22:42). Doa ini tidak mengungkapkan sikap Yesus yang sudah tidak melihat kemungkinan lain kecuali menyerah. Yang diungkapkan dalam doa itu adalah harapan agar Allah bertindak sehingga rencana penyelamatan-Nya terlaksana secara sempurna, dan Yesus dengan bebas menerima peran apa pun yang harus Ia lakukan dalam pelaksanaan rencana penyelamatan Allah itu. Sikap dan harapan itulah yang juga diungkapkan dalam bagian doa Bapa Kami ini. Diungkapkan pula keyakinan bahwa yang dapat melakukan itu hanya Allah saja. Dengan demikian, bagian doa ini berhubungan dengan bagian-bagian sebelumnya, yaitu terlaksananya kehendak Allah untuk mendatangkan Kerajaan-Nya (bdk. Yes 44:28; 46:10-11; Ef 1:5.9).

Sementara itu, harus diingat bahwa kehendak Allah itu menyangkut manusia. Oleh karena itu, kehendak ini tidak akan terjadi tanpa penerimaan dan keterlibatan manusia yang semakin lama semakin bulat. Gambaran akhir keadaan seperti ini adalah kesesuaian sempurna antara kehendak manusia dengan kehendak Allah, yang dengan amat bagus dinyatakan oleh nabi Yeremia (31:31-33) dan Yehezkiel (36:27). Dalam sejarah yang masih berjalan ini, terjadinya kehendak Allah tampak dalam ketaatan dan pelaksanaan perintah-perintah Allah (bdk. Mat 5:17-20; 6:33; 7:21; 12:50).

Kehendak Allah itu diharapkan terjadi di bumi seperti di dalam surga. Surga dimengerti sebagai Kerajaan Allah yang sempurna, sedangkan bumi diharapkan menjadi cerminannya yang semakin terang. Tidak mustahil, bagian doa “di atas bumi seperti di dalam surga” tidak hanya berkaitan dengan “jadilah kehendak-Mu”, tetapi juga dengan bagian doa sebelumnya. Kalau demikian, sebenarnya kita berdoa semoga di dunia pun nama Allah dimuliakan, Kerajaan Allah ditegakkan, dan kehendak-Nya terjadi sebagaimana dalam surga.

Bagian kedua doa Bapa kami terdiri dari empat permohonan, diawali dengan “Berilah kami rezeki pada hari ini“. Ini adalah perumusan kembali teks doa yang terdapat dalam Injil Matius dan Lukas: “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya” (Mat) dan “Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya” (Luk). Dengan ini Yesus mengundang para murid agar hari demi hari memohon apa saja yang mereka perlukan, dengan keyakinan bahwa Allah menyelenggarakan hidup mereka sebagaimana dulu Ia telah menyelenggarakan kehidupan umat-Nya (bdk. Kel 16). Dengan doa ini manusia mengakui bahwa hidup seluruhnya tergantung pada Tuhan. Namun, tidak hanya itu. Makanan atau rezeki harus ditempatkan dalam kerangka yang lebih luas. Makanan atau rezeki adalah lambang telah datangnya Kerajaan Allah, zaman keselamatan yang penuh kegembiraan, damai, pengampunan, dan hubungan harmonis dalam dan dengan Allah. Dalam arti ini pun doa Bapa Kami tetap berkaitan dengan hidup sehari-hari.

Selanjutnya “Ampunilah kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami“. Bagian doa ini pun terjemahan bebas dari teks yang semestinya berbunyi “Lepaskanlah kami dari utang kami … “. Dalam pengertian yang lazim pada zaman Yesus, utang adalah masalah yang besar dalam tata hukum maupun perdagangan. Utang dapat menyebabkan orang kehilangan kemerdekaannya (bdk. Mat 18:23-25). Kata ini dipakai untuk menggambarkan keadaan manusia di hadapan Allah: manusia adalah pengutang yang tidak dapat membebaskan diri dari utangnya. Dengan demikian, kata itu dengan amat baik menyatakan keadaan manusia yang berdosa. Kata ini tidak dipakai dalam terjemahan bahasa modern karena arti kata “utang” dalam bahasa modern cenderung sempit, sebatas lingkup ekonomi saja. Oleh karena itu, dipakai kata “kesalahan” yang dapat dengan lebih baik mengungkapkan keadaan manusia yang malang sebagai pendosa.

Dengan doa ini kita menyadari bahwa sebenarnya kita tergantung sepenuhnya pada Allah, tetapi setiap kali kita bertindak seolah-olah kita berkuasa sendiri atas segala-galanya. Atas dasar kesadaran itu kita memohon agar Allah membebaskan kita dari utang kita kepada-Nya. Ini adalah rahmat yang amat besar, karena kita tidak mampu membebaskan diri kita sendiri dari dosa-dosa kita.

Dalam doa ini Yesus secara mendasar menghubungkan kesalahan-kesalahan kita terhadap Allah dengan kesalahan-kesalahan kita terhadap sesama. Agar dapat menerima pengampunan dari Allah, kita dituntut saling mengampuni (bdk. Mat 5:7; 6:14-15; Mrk 11:25). Meskipun demikian, pengampunan yang kita berikan kepada sesama tidak boleh dipandang sebagai syarat atau membuat kita mempunyai hak atas pengampunan Allah. Pengampunan kepada sesama, pertama-tama, merupakan tanda ketulusan dan kesungguhan kita memohon ampun kepada Allah. Pengampunan Allah sendiri adalah rahmat yang diberikan atas dasar kasih dan kesetiaan-Nya (bdk. Yes 55:6-7; Dan 9:18-19).

Sesudah memohon pengampunan, para murid diajar memohon “Jangan masukkan kami dalam pencobaan“. Yang dimaksudkan dengan pencobaan bukanlah seperti cobaan yang diberikan oleh Allah kepada Abraham (Kej 22:1) atau umat-Nya (Kel 15:25; 16:4; 20:20; Ul 8:2), melainkan cobaan di mana Setan berusaha membinasakan orang-orang yang diserangnya (1Kor 7:5; 1Tes 3:5; 1Ptr 5:5-9; Why 2:10; bdk. Luk 22:31). Menurut Perjanjian Baru, Allah tidak pernah mencobai (bdk. Yak 1:13). Sementara itu diyakini sepenuhnya bahwa tidak ada apa pun, termasuk pencobaan atau kuasa Setan, yang dapat mengalahkan kuasa Allah. Atas dasar ini semua, dapat dikatakan bahwa para murid tidak meminta kepada Allah agar mereka tidak dicobai (bdk. Mat 26:41 dst.; 1Kor 10:13) melainkan agar Allah membebaskan mereka dari cobaan yang sedemikian rupa sehingga ada risiko mereka tidak dapat bertahan. Kalau dipertimbangkan ciri ke-Semit-annya, kalimat ini dapat diterjemahkan menjadi “bantulah, agar kami tidak masuk ke dalam pencobaan”. Kalau demikian, kesulitan yang berkaitan dengan Allah yang memasukkan orang ke dalam pencobaan, dihindari.

Doa Bapa Kami ditutup dengan permohonan terakhir, “Tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat“. Yang dimaksudkan dengan “yang jahat” pertama-tama adalah kekuasaan jahat. Kekuasaan jahat itu sama dengan setan yang mencobai murid Yesus. Pencobaan seperti itu pernah dialami juga oleh Yesus sendiri (bdk. Mat 4:3; 1Tes 3:5). Dalam Injil dapat dilihat bahwa Yesus menggambarkan karya-Nya sebagai perjuangan memenangkan rencana Allah berhadapan dengan kekuatan satani. Pengusiran setan menjadi tanda bahwa Kerajaan Allah telah datang dan dengan demikian rencana Allah terlaksana, “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Mat 12:28; Luk 11:20). Oleh karena itu, permohonan supaya dibebaskan dari yang jahat pun harus ditempatkan dalam kerangka kedatangan Kerajaan Allah.

Jumat, 06 November 2015

Apa Itu Kanonisasi


Sumber ; google.co.id
Kita semua dipanggil Kristus kepada kekudusan dan kesempurnaan, kepada persatuan mesra dengan Allah Bapa, melaui Kristus dalam persekutuan dengan Roh Kudus: Karena itu Harusalah kamu sempurna, sama seperti Bapa di Surga adalah sempurna (Mat 5:48); "Kuduskanlah kamu, sebab, Aku, Tuhan, Allahmu, kudus (Im 19:2)
Tradisi iman Katolik mewariskan kepada kita sejumlah besar tokoh pejuang dan pembela nilai dan paham hidup yang mengangkat harkat dan martabat manusia. Itulah”Orang-Orang Kudus”. Orang-orang Kudus, terdiri dari tua-muda, rohaniawan/wati, bapa-ibu, perawan-janda, raja-rakyat jelata, cendekiawan-orang tidak berpendidikan, yang berasal dari berbagai suku bangsa, ras dan budaya.
Bunda Gereja yang kudus dibawah bimbingan Roh Kudus secara resmi menyebut dan menyatakan mereka “Orang-Orang Kudus”, baik sebagai ‘Beato-Beata’ atau ‘Santo-Santa’. Pernyataan resmi Gereja itu diawali dengan suatu proses penelitian yang panjang dan teliti, yang disebut Beatifikasi dan kanonisasi hingga akhirnya disetujui oleh Takhta Suci.
Prosedur untuk menetapkan calon santo-santa di mulai tahun 1234, di prakarsai oleh Paus Gregorius IX dan Kongregasi Ritus yang diberi wewenang untuk mengawasi keseluruh prosesnya (Kongregasi Ritus dan terbentuk mulai tahun 1588, oleh Paus Sixtus V), Prosedurnya sebagai berikut :
Apabila seorang yang telah meninggal dunia dan  “dianggap martir” atau “dianggap kudus” maka biasanya Uskup Diosesan yang memprakarsai proses penyelidikan. Dimana salah satu unsur penyelidikan adalah apakah suatu permohonan khusus atau mukjizat telah terjadi melalui perantaraan calon santo-santa yang bersangkutan. Gereja juga akan menyelidiki tulisan-tulisan calon santo-santa guna melihat apakah mereka setia pada “ajaran yang murni,” pada intinya tidak didapati adanya suatu kesesatan atau suatu yang bertentangan dengan iman Katolik. Segala informasi ini dikumpulkan, dan kemudian suatu transumptum, yaitu salinan yang sebenarnya, yang disahkan dan dimeterai, diserahkan kepada Kongregasi Ritus.
Begitu transumptum telah diterima oleh Kongregasi, penyelidikan lebih lanjut dilaksanakan. Jika calon santo-santa adalah seorang martir, Kongregasi menentukan apakah ia wafat karena iman dan sungguh mempersembahkan hidupnya sebagai kurban cinta kepada Kristus dan Gereja. Dalam perkara-perkara lainnya, Kongregasi memeriksa apakah calon digerakkan oleh belas kasih yang istimewa kepada sesama dan mengamalkan keutamaan-keutamaan dalam tindakan yang menunjukkan keteladanan dan kegagahan.
Sepanjang proses penyelidikan ini, “promotor iman”, mengajukan keberatan-keberatan dan ketidakpercayaan yang harus berhasil disanggah oleh Kongregasi. Begitu seorang calon dimaklumkan sebagai hidup dengan mengamalkan keutamaan-keutamaan yang gagah berani, maka calon dimaklumkan sebagai Venerabilis.
Proses selanjutnya adalah BEATIFIKASI. Seorang martir dapat dibeatifikasi dan dimaklumkan sebagai “Beato-Beata” dengan keutamaan kemartiran itu sendiri. Di luar kemartiran, calon harus diperlengkapi dengan suatu mukjizat yang terjadi dengan perantaraannya. Dalam memastikan kebenaran mukjizat, Gereja melihat apakah Tuhan sungguh melakukan mukjizat lewat perantaraan calon Beato/Beata. Begitu dibeatifikasi, calon santa-santo boleh dihormati, tetapi terbatas pada suatu kota, keuskupan, wilayah atau kelompok religius tertentu. Selanjutnya, Paus akan mengesahkan suatu doa khusus, atau Misa atau Ofisi Ilahi yang pantas demi menghormati Beato-Beata yang bersangkutan. Setelah beatifikasi, suatu mukjizat lain masih diperlukan untuk kanonisasi dan memaklumkan secara resmi seseorang sebagai seorang santo-santa. Proses resmi untuk memaklumkan seseorang sebagai seorang santo- santa disebut KANONISASI.
Para orang-orang kudus, bukan berarti selama hidupnya tidak mempunyai cela/kesalahan. Sebagai manusia mereka memiliki juga kecenderungan berdosa, kelemahan dan kekuaragan selama masa hidupnya, ada juga orang kudus yang selama hidupnya dikenal sebagai pendosa berat, namun oleh sentuhan rahmat Allah, mereka bertobat dan memulai menata hidupnya secara baru mengikuti kehendak Allah.
Kita, dibawah bimbingan Tuhan dan Gereja-Nya, meneladani cara hidup mereka (Santo-Santa/beato-Beata), menjadikan mereka pelindung kita dan perantara doa-doa kita.
Yang terutama, dalam memilih nama Baptis atau Krisma, kita harus melihat dari Kekhasan Santo-santa tersebut, misalnya kalau diri kita ingin menjadi yang militan dalam menghayati kekristenan, pilih St. Ingatius Loyola, kalau menjadi seorang yang sangat kristis, bisa memilih nama Baptis/Krisma St. Thomas, kalau berpribadi tenang bisa pilih St. Philipus, dan sebagainya. jadi sebaiknya bukan karena disesuaikan dengan pesta/perayaan atau tanggal dari kelahiran kita. Terang doa dan dalam bimbingan Roh Kudus akan membantu dalam pemilihan nama pelindung kita baik dalam Baptis maupun Krisma.

Selasa, 03 November 2015

Sirilus dari Alexandria

Sumber ; id.wikipeda.org
“Pastilah ia Bunda Allah jika Tuhan kita Yesus Kristus adalah Allah, dan ia melahirkan-Nya.”
Santo Sirilus dari Alexandria Sirilus dilahirkan di Alexandria, Mesir, pada tahun 370. Pamannya, Teofilus, adalah patriark atau uskup agung. Pamannya seorang yang baik, tetapi terkadang cepat marah dan keras kepala. Patriark Teofilus termasuk orang yang bertanggung-jawab atas pembuangan pertama St.Yohanes Krisostomus pada tahun 403. Tetapi kaisar membawa kembali Patriark Yohanes ke Konstantinopel setelah terjadi huru-hara dan gempa bumi di Kota itu. Tampaknya Sirilus juga terpengaruh oleh prasangka buruk pamannya terhadap Patriark Yohanes, karena Sirilus pun setuju dengan pembuangan Patriark Yohanes Krisostomus. Ketika pamannya wafat pada tahun 412, Sirilus diangkat menjadi Patriark menggantikannya. Ia mempunyai cinta yang berkobar-kobar kepada Gereja dan kepada Yesus. Ia tidak mencari pujian orang ataupun kedudukan karena ia seorang yang jujur suka berterus terang. Sikapnya ini membuat banyak orang tidak menyukainya. Namun Ia tidak peduli. Dengan gagah berani ia tetap mewartakan dan mempertahankan iman Gereja dari ajaran-ajaran sesat. Namun, seperti pamannya Teofilus, Patriark Sirilus juga adalah seorang yang keras kepala. Perangainya ini pastilah membuatnya menderita. Walau demikian, umat Kristiani patut berterima kasih kepadanya atas banyak kecakapannya yang mengagumkan. Sebagai misal, ia dengan tidak gentar membela Gereja dan membela apa yang ia yakini sebagai benar. St Sirilus adalah wakil Paus St.Selestine I dalam Konsili Efesus pada tahun 431. Konsili ini merupakan sidang resmi Gereja yang melibatkan lebih dari dua ratus uskup yang ada waktu itu. Mereka memeriksa ajaran sesat Nestorian yang diajarkan oleh seorang imam bernama Nestorius. Konsili menerangkan dengan jelas bahwa Nestorius salah dalam beberapa kebenaran penting yang kita yakini. Paus memberinya waktu sepuluh hari untuk berjanji bahwa ia tidak akan mewartakan ajaran-ajarannya sendiri yang salah. Tetapi Nestorius tidak mau. Konsili menjelaskan kepada umat Allah bahwa kita tidak dapat menerima ajaran-ajaran sesat. Para uskup begitu jelas menerangkan hingga ajaran-ajaran sesat ini tidak pernah lagi menjadi ancaman besar bagi Gereja. Gereja sangat berterima kasih kepada Patriark Alexandria Sirilus yang telah memimpin jalannya Konsili. Pada akhirnya Nestorius dengan diam-diam pulang kembali ke biaranya dan tidak lagi membingungkan umat. Sirilus kembali juga ke keuskupan agungnya dan bekerja keras demi Gereja hingga ia wafat pada tahun 444. Paus Leo XIII memaklumkan St Sirilus sebagai Pujangga Gereja pada tahun 1883.