![]() |
Sumber ; google.co.id |
dan janganlah membawa kami dalam pencobaan tetapi lepaskanlah kapi dari pada yang jahat. [Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan dan kuasa dan kemuliaan sampai selama - lamanya] (Mat 6;13)Doa ini dimulai dengan seruan “Bapa kami yang ada di surga“. Para murid diajar mengarahkan diri dan berseru kepada Bapa mereka satu-satunya (Mat 23:9). Dengan menyebut Allah sebagai Bapa, Abba, Yesus mau menunjukkan adanya hubungan yang amat dekat, akrab, dan khas antara diri-Nya dan Allah. Sapaan seperti ini biasanya digunakan oleh seorang anak yang menaruh kepercayaan penuh kepada bapaknya. Hubungan yang khas itu disebabkan oleh Bapa yang telah mengaruniakan kepada Yesus pengertian sempurna akan diri-Nya (bdk. Mat 11:27). Pada umumnya, tidak ada orang yang berani menyapa Allah dengan cara itu. Ini masih dapat kita rasakan dalam pembukaan doa Bapa Kami dalam perayaan Ekaristi yang didahului dengan kata-kata sebagai berikut:
“Atas petunjuk Penyelamat kita … maka beranilah kita berkata“.
Dengan mengajarkan doa ini kepada para murid, Yesus mengundang mereka
masuk ke dalam hubungan dengan Allah yang sama, bebas dari rasa takut.
Dengan menyapa Allah sebagai Bapa, para
murid menyatakan keyakinan dan harapan mereka bahwa Bapa selalu
memberikan perhatian penuh kepada anak-anak-Nya. Bahkan, boleh dikatakan bahwa Allah Bapa hidup bagi anak-anak-Nya. Ia mencintai mereka lebih dahulu.
Keyakinan ini ditegaskan lagi dalam keterangan “yang ada di surga“.
Keterangan ini tidak mau menunjukkan tempat tinggal Allah, merupakan
ungkapan dalam bahasa Semit yang dipakai untuk menegaskan bahwa Allah
menguasai seluruh jagat raya (= di surga) dan sekaligus dekat dengan
manusia, mengasihinya dengan cinta-Nya sebagai Bapa (Bapa kami). Dalam
Injil Matius sering kali kita menemukan ungkapan “Bapa-Ku yang di surga”
(mis. 7:21;10:32.33; 12:50) atau “Bapamu yang di surga” (mis. 5:16.45; 7:11; 18:14).
Perlu juga diperhatikan bahwa Allah
disebut Bapa kami, bukan Bapaku. Allah bukan hanya Bapa sekelompok orang
saja. Bahkan dikatakan bahwa Ia “menerbitkan matahari bagi orang yang
jahat dan orang yang baik, dan menurunkan hujan bagi orang yang benar
dan orang yang tidak benar” (Mat 5:45). Dengan demikian, Allah Bapa
adalah satu-satunya dasar: yang dapat menjadi landasan persaudaraan yang
sejati.
Sesudah seruan, doa dilanjutkan dengan doa-doa permohonan bagian pertama yang terdiri dari tiga permohonan. Yang pertama, “dimuliakanlah nama-Mu“. Secara harfiah bagian ini sebenarnya harus diterjemahkan “dikuduskanlah nama-Mu“.
Dalam bahasa Kitab Suci, nama Allah sama dengan diri Allah sendiri,
sejauh dinyatakan kepada manusia. Allah adalah Yang Mahakudus. Ia lain
dan berada di atas segala sesuatu. Oleh karena itu, bagian doa ini tidak
dapat diartikan bahwa manusia dengan cara apa pun akan atau dapat
menambahkan sesuatu pada kekudusan Allah. Dengan berdoa demikian, orang
beriman menyatakan imannya dan memohon agar Allah menyatakan
kekudusan-Nya dan agar manusia mampu mengakui, memuliakan, dan menyediakan tempat tertinggi bagi-Nya dalam segala sesuatu. Keyakinan seperti ini tampak misalnya dalam Mzm 9:11, “Orang yang mengenal nama-Mu, percaya kepada-Mu” (bdk. Mzm 20:8), Itulah yang juga didoakan oleh Yesus, “Bapa muliakanlah nama-Mu” (Yoh 12:28).
Menurut Kitab Suci, sekurang-kurangnya
ada dua cara menguduskan nama Allah. Para ahli Taurat dalam
nasihat-nasihat mereka biasanya mengajar orang beriman supaya
menguduskan Allah dengan menaati hukum-hukum-Nya. Dengan cara ini mereka
mengakui bahwa Allah benar-benar berkuasa atas seluruh hidup mereka (Im
22:31-32.; Ul 32:51; Yes 8:13; 29:13). Sementara itu, para nabi dalam
nubuat-nubuat mereka mengenai keselamatan yang akan datang – menyatakan
bahwa Allah akan menguduskan diri-Nya dengan tampil sebagai Hakim yang
adil dan sebagai Penyelamat di hadapan segala bangsa (Yeh 20:41;
28:22-25; 36:23; Yes 5:16).
Doa “dimuliakanlah nama-Mu” disusul dengan “datanglah Kerajaan-Mu“.
Datangnya Kerajaan Allah, yang adalah kerajaan “kebenaran, damai
sejahtera, dan sukacita oleh Roh Kudus” (Rm 14:17) tidak dapat dijamin
oleh siapa pun kecuali oleh Allah sendiri. Campur tangan dan tindakan
Allah yang menyelamatkan dalam rangka datangnya Kerajaan itulah yang
dimohonkan dengan doa “dimuliakanlah nama-Mu”. Hanya Allah sendiri yang
dapat memuliakan atau menguduskan nama-Nya, dalam kekuasaan dan
keagungan-Nya, dalam keadilan dan rahmat-Nya. Pernyataan kemuliaan Allah
dan kekudusan-Nya akhirnya akan dialami oleh semua orang. Dengan berdoa
“datanglah kerajaan-Mu”, orang beriman mengungkapkan kerinduan hatinya
agar Kerajaan yang sudah hadir dalam diri Yesus itu dinyatakan, dikenal,
dan diterima oleh semua orang. Tidak hanya itu, tetapi juga agar
Kerajaan Allah menjelma dalam wujud yang dapat dilihat dan dialami dalam
kehidupan di dunia ini, Misalnya, wujud Kerajaan Allah akan semakin
tampak juga dalam tata kehidupan bersama yang semakin bersaudara dan
adil. Kelak pada akhir zaman, “Kerajaan Allah ini akan datang dengan
kuasa” (Mrk 9:1).
Bagian pertama doa Bapa Kami diakhiri dengan permohonan “Jadilah kehendak-Mu di atas bumi seperti di dalam surga”.
Dalam doa Yesus di taman Getsemani, setelah melalui pergumulan batin
yang amat hebat, Ia akhirnya berkata, ” … bukanlah kehendak-Ku,
melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk 22:42). Doa ini tidak
mengungkapkan sikap Yesus yang sudah tidak melihat kemungkinan lain
kecuali menyerah. Yang diungkapkan dalam doa itu adalah harapan agar
Allah bertindak sehingga rencana penyelamatan-Nya terlaksana secara
sempurna, dan Yesus dengan bebas menerima peran apa pun yang harus Ia
lakukan dalam pelaksanaan rencana penyelamatan Allah itu. Sikap dan
harapan itulah yang juga diungkapkan dalam bagian doa Bapa Kami ini.
Diungkapkan pula keyakinan bahwa yang dapat melakukan itu hanya Allah
saja. Dengan demikian, bagian doa ini berhubungan dengan bagian-bagian
sebelumnya, yaitu terlaksananya kehendak Allah untuk mendatangkan
Kerajaan-Nya (bdk. Yes 44:28; 46:10-11; Ef 1:5.9).
Sementara itu, harus diingat bahwa
kehendak Allah itu menyangkut manusia. Oleh karena itu, kehendak ini
tidak akan terjadi tanpa penerimaan dan keterlibatan manusia yang
semakin lama semakin bulat. Gambaran akhir keadaan seperti ini adalah
kesesuaian sempurna antara kehendak manusia dengan kehendak Allah, yang
dengan amat bagus dinyatakan oleh nabi Yeremia (31:31-33) dan Yehezkiel
(36:27). Dalam sejarah yang masih berjalan ini, terjadinya kehendak
Allah tampak dalam ketaatan dan pelaksanaan perintah-perintah Allah (bdk. Mat 5:17-20; 6:33; 7:21; 12:50).
Kehendak Allah itu diharapkan terjadi di
bumi seperti di dalam surga. Surga dimengerti sebagai Kerajaan Allah
yang sempurna, sedangkan bumi diharapkan menjadi cerminannya yang
semakin terang. Tidak mustahil, bagian doa “di atas bumi seperti di
dalam surga” tidak hanya berkaitan dengan “jadilah kehendak-Mu”, tetapi
juga dengan bagian doa sebelumnya. Kalau demikian, sebenarnya kita
berdoa semoga di dunia pun nama Allah dimuliakan, Kerajaan Allah
ditegakkan, dan kehendak-Nya terjadi sebagaimana dalam surga.
Bagian kedua doa Bapa kami terdiri dari empat permohonan, diawali dengan “Berilah kami rezeki pada hari ini“.
Ini adalah perumusan kembali teks doa yang terdapat dalam Injil Matius
dan Lukas: “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya”
(Mat) dan “Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya”
(Luk). Dengan ini Yesus mengundang para murid agar hari demi hari
memohon apa saja yang mereka perlukan, dengan keyakinan bahwa Allah
menyelenggarakan hidup mereka sebagaimana dulu Ia telah menyelenggarakan
kehidupan umat-Nya (bdk. Kel 16). Dengan doa ini manusia
mengakui bahwa hidup seluruhnya tergantung pada Tuhan. Namun, tidak
hanya itu. Makanan atau rezeki harus ditempatkan dalam kerangka yang
lebih luas. Makanan atau rezeki adalah lambang telah datangnya Kerajaan
Allah, zaman keselamatan yang penuh kegembiraan, damai, pengampunan, dan
hubungan harmonis dalam dan dengan Allah. Dalam arti ini pun doa Bapa
Kami tetap berkaitan dengan hidup sehari-hari.
Selanjutnya “Ampunilah kesalahan kami, seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami“.
Bagian doa ini pun terjemahan bebas dari teks yang semestinya berbunyi
“Lepaskanlah kami dari utang kami … “. Dalam pengertian yang lazim pada
zaman Yesus, utang adalah masalah yang besar dalam tata hukum maupun
perdagangan. Utang dapat menyebabkan orang kehilangan kemerdekaannya (bdk.
Mat 18:23-25). Kata ini dipakai untuk menggambarkan keadaan manusia di
hadapan Allah: manusia adalah pengutang yang tidak dapat membebaskan
diri dari utangnya. Dengan demikian, kata itu dengan amat baik
menyatakan keadaan manusia yang berdosa. Kata ini tidak dipakai dalam
terjemahan bahasa modern karena arti kata “utang” dalam bahasa modern
cenderung sempit, sebatas lingkup ekonomi saja. Oleh karena itu, dipakai
kata “kesalahan” yang dapat dengan lebih baik mengungkapkan keadaan
manusia yang malang sebagai pendosa.
Dengan doa ini kita menyadari bahwa
sebenarnya kita tergantung sepenuhnya pada Allah, tetapi setiap kali
kita bertindak seolah-olah kita berkuasa sendiri atas segala-galanya.
Atas dasar kesadaran itu kita memohon agar Allah membebaskan kita dari
utang kita kepada-Nya. Ini adalah rahmat yang amat besar, karena kita
tidak mampu membebaskan diri kita sendiri dari dosa-dosa kita.
Dalam doa ini Yesus secara mendasar
menghubungkan kesalahan-kesalahan kita terhadap Allah dengan
kesalahan-kesalahan kita terhadap sesama. Agar dapat menerima
pengampunan dari Allah, kita dituntut saling mengampuni (bdk.
Mat 5:7; 6:14-15; Mrk 11:25). Meskipun demikian, pengampunan yang kita
berikan kepada sesama tidak boleh dipandang sebagai syarat atau membuat
kita mempunyai hak atas pengampunan Allah. Pengampunan kepada sesama,
pertama-tama, merupakan tanda ketulusan dan kesungguhan kita memohon
ampun kepada Allah. Pengampunan Allah sendiri adalah rahmat yang
diberikan atas dasar kasih dan kesetiaan-Nya (bdk. Yes 55:6-7; Dan 9:18-19).
Sesudah memohon pengampunan, para murid diajar memohon “Jangan masukkan kami dalam pencobaan“.
Yang dimaksudkan dengan pencobaan bukanlah seperti cobaan yang
diberikan oleh Allah kepada Abraham (Kej 22:1) atau umat-Nya (Kel 15:25;
16:4; 20:20; Ul 8:2), melainkan cobaan di mana Setan berusaha
membinasakan orang-orang yang diserangnya (1Kor 7:5; 1Tes 3:5; 1Ptr
5:5-9; Why 2:10; bdk. Luk 22:31). Menurut Perjanjian Baru, Allah tidak pernah mencobai (bdk.
Yak 1:13). Sementara itu diyakini sepenuhnya bahwa tidak ada apa pun,
termasuk pencobaan atau kuasa Setan, yang dapat mengalahkan kuasa Allah.
Atas dasar ini semua, dapat dikatakan bahwa para murid tidak meminta
kepada Allah agar mereka tidak dicobai (bdk. Mat 26:41 dst.;
1Kor 10:13) melainkan agar Allah membebaskan mereka dari cobaan yang
sedemikian rupa sehingga ada risiko mereka tidak dapat bertahan. Kalau
dipertimbangkan ciri ke-Semit-annya, kalimat ini dapat diterjemahkan
menjadi “bantulah, agar kami tidak masuk ke dalam pencobaan”. Kalau
demikian, kesulitan yang berkaitan dengan Allah yang memasukkan orang ke
dalam pencobaan, dihindari.
Doa Bapa Kami ditutup dengan permohonan terakhir, “Tetapi bebaskanlah kami dari yang jahat“.
Yang dimaksudkan dengan “yang jahat” pertama-tama adalah kekuasaan
jahat. Kekuasaan jahat itu sama dengan setan yang mencobai murid Yesus.
Pencobaan seperti itu pernah dialami juga oleh Yesus sendiri (bdk.
Mat 4:3; 1Tes 3:5). Dalam Injil dapat dilihat bahwa Yesus menggambarkan
karya-Nya sebagai perjuangan memenangkan rencana Allah berhadapan
dengan kekuatan satani. Pengusiran setan menjadi tanda bahwa Kerajaan
Allah telah datang dan dengan demikian rencana Allah terlaksana, “Tetapi
jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan
Allah sudah datang kepadamu” (Mat 12:28; Luk 11:20). Oleh karena itu,
permohonan supaya dibebaskan dari yang jahat pun harus ditempatkan dalam
kerangka kedatangan Kerajaan Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar