![]() | ||
Warna Litugi di Gereja Katolik |
Dalam
Perayaan Ekaristi warna sangat dimanfaatkan sebagai unsur virtual yang
sangat penting dalam menciptakan suasana religius, sekaligus memberi
sentuhan atmosfir sedemikian rupa sehingga sungguh-sungguh dapat
mengantar umat kepada pertemuan dengan yang Ilahi.
Gereja Katolik
mempunyai pemahaman norma tersendiri dan baku akan warna. Setiap warna
merefleksikan nilai dan makna rohani tertentu. Begitu juga kapan waktu
pemakaian warna tersebut dipakai disesuaikan dengan masa-masa dan
perayaan-perayaan atau pesta tertentu menurut penaggalan kalender
liturgi.
Warna yang dimaksud dalam liturgi adalah warna Stola
(selempang/selendang) dan Kasula (Mantol Lebar/Pakaian Paling Luar Imam)
yang dipakai oleh Imam, begitu juga dengan warna yang dikenakan
Prodiakon, Lektor/Lektris dan Putra/Putri Altar disesuaikan dengan warna
yang dipakai imam sesuai kalender liturgi.
Penggunaan warna
liturgi berkembang bersama-sama dengan pakaian luturgi dalam sejarah
liturgi. Perkembangan pemilihan warna liturgi berlatar belakang pada
teknik pembuatan warna pada zaman kuno. Pada zaman kuno bahan pewarna
diambil dari getah utama keong dengan lama pemasakan, maka orang
mengatur warna yang diinginkan. Semakin lama pemasakan, semakin mahal
harganya. Warna merah tua dan gelap merupakan warna yang paling mahal,
maka pesta liturgi yang disimbolkan juga semakin meriah.
Pemilihan
warna liturgi amat dipengaruhi oleh penafsiran makna atas simbol warna
sebagaimana dipahami suatu budaya dan masyarakat tertentu. De facto,
penafsiran terhadap simbol warna bisa bermacam-macam dan berbeda
antarasuatu bangsa-budaya yang satu dengan yang lain. Meskipun begitu,
kita boleh meringkas makna simbolis warna-warna liturgi secara umum dan
penggunaannya.
Dalam liturgi, warna melambangkan:
1. Sifat dasar misteri iman yang kita rayakan,2. Menegaskan perjalanan hidup Kristiani sepanjang tahun liturgi
HIJAU (G)
Pada
umumnya, warna hijau dipandang sebagai warna yang tenang, menyegarkan,
melegakan, dan manusiawi. Warna hijau juga dikaitkan dengan musim
semi, di mana suasana alam didominasi warna hijau yang memberi suasana
pengharapan. Warna hijau pada khususnya dipandang sebagai warna
kontemplatif dan tenang.
Karena warna hijau melambangkan
keheningan, kontemplatif, ketenangan, kesegaran, dan harapan, warna ini
dipilih untuk masa biasa dalam liturgi sepanjang tahun. Dalam masa
biasa itu, orang Kristiani menghayati hidup rutinnya dengan penuh
ketenangan, kontemplatif terhadap karya dan sabda Allah melalui hidup
sehari-hari, sambil menjalani hidup dengan penuh harapan akan kasih
Allah.
PUTIH DAN KUNING (YW)
Warna
putih dikaitkan dengan makna kehidupan baru, sebagaimana dalam liturgi
baptisan si baptisan baru biasa mengenakan pakaian putih. Warna putih
umumnya dipandang sebagai simbol kemurnian, ketidaksalahan, terang yang
tak terpadamkan dan kebenaran mutlak. Warna putih juga melambangkan
kemurnian mutlak. Warna putih juga melambangkan kemurniaan sempurna,
kejayaan yang penuh kemenangan, dan kemuliaan abadi. Dalam arti ini
pula mengapa seorang paus mengenkan jubah, single dan solideo putih.
Warna
kuning umumnya dilihat sebagai warna mencolok sebagai bentuk lebih
kuat dari makna kemuliaan dan keabadian, sebagaimana dipancarkan oleh
warna emas. Dalam liturgi, warna putih dan kuning digunakan menurut arti
simbolisasi yang sama, yakni makana kejayaan abadi, kemuliaan kekal,
kemurnian, dan kebenaran. Itulah sebabnya warna putih dan kuning bisa
digunakan bersama-sama atau salah satu.
Warna putih atau kuning
dipakai untuk masa Paskah dan Natal, hari-hari raya, pesta dan
peringatan Tuhan Yesus, kecuali peringatan sengsara-Nya. Begitu pula
warna putih dan kuning digunakan pada hari raya, pesta dan peringatan
Santa Perawan Maria, para malaikat, para kudus bukan martir, pada hari
raya semua orang kudus (1 November), Santo Yohanes Pembaptis (24
Juni), pada pesta Santo Yohanes pengarang Injil (27 Desember), Takhta
Santo Petrus Rasul (22 Februari), dan Bertobatnya Paulus Rasul (25
Januari)
MERAH (R)
Warna
merah merupakan warna api dan darah. Maka, warna merah ini amat
dihubungkan dengan penumpahan darah para martir sebagai saksi-saksi
iman, sebagaimana Tuhan Yesus Kristus sendiri menumpahkan darah-Nya bagi
kehidupan dunia. Dalam tradisi Romawi kuno, warna merah merupakan
simbol kuasa tertinggi, sehingga warna itu digunakan oleh bangsawan
tinggi, terutama kaisar. Apabila para kardinal memakai warna merah untuk
jubah, singel, dan solideonya, maka itu dimaksudkan agar para kardinal
menyatakan kesiapsediaannya untuk mengikuti teladan para martir yang
mati demi iman.
Dalam liturgi warna mereh dipakai untuk hari
Minggu Palma, Jumat Agung, Minggu Pentakosta, dalam perayaan perayaan
sengsara Kristus, pada pesta para rasul dan pengarang Injil, dan dalam
perayaan-perayaan para martir.
UNGU (P)
Warna
ungu merupakan simbol bagi kebijaksanaan, keseimbangan, sikap
berhati-hati, dan mawas diri. Itulah sebabnya warna ungu dipilih untuk
masa Adven dan Prapaskah sebab pada masa itu semua orang Kristiani
diundang untuk bertobat, mawas diri, dan mempersiapkan diri bagi
perayaan agung Natal ataupun Paskah. Warna itu juga digunakan untuk
keperluan ibadat tobat.
Pada umumnya, liturgi arwah menggunakan
warna ungu sebagai ganti warna hitam. Dalam liturgi arwah itu, warna
ungu itu melambangkan penyerahan diri, pertobatan, dan permohonan
belaskasihan dan kerahiman Tuhan atas diri orang yang meninggal dunia
dan kita semua sebagai umat beriman.
HITAM (B)
Warna hitam
merupakan lawan warna putih dan melambangkan ketiadaan, kegelapan,
pengurbanan, malam, kematian, dan kerajaan orang mati. Maka, warna
hitam dapat melambangkan kesedihan dan kedukaan hati secara paling
itntensif. Warna hitam bisa digunakan dalam liturgi arwah, meskipun
penggunaan warna ini sekarang bersifat fakulatif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar